Ada satu masa dimana
aku benar-benar berpikir dan yakin bahwa tidak merokok sama dengan tidak keren.
12 Tahun, aku rasa umur yang terlalu muda untuk menyerap konsep
'keren' pada ungkapan tersebut, aku senang bisa merasakannya :army
“Dit, ada rencana
malam ini?”
“Rencana apaan Ri,
Dit?”
Aku dan Ari tidak
terlalu akrab dengan Dodit, namun kita saling mengenal sebagai teman satu komplek,
diantara kami bertiga Dodit termasuk 'kiblat' bagi cowok kampung yang ingin terlihat keren, selain
umurnya lebih tua dan lebih terkesan pintar, ia juga memiliki
attitude yang jarang dimiliki anak-anak kampung seperti kami. Pendiam, penyendiri, dan perokok, seakan dia
ingin menggumamkan pada anak-anak yang melihatnya “Apa bro
lihat-lihat sini joinan.”. Meskipun penampilannya street banget,
tetapi terbukti ia tidak rebel dan cukup tahu batasan, buktinya ia
ikut buka bareng di masjid komplek. husnudzon :3
“Biasalah.”
jawab Dodit cuek
Hm, keren sekali
bukan jawabannya.
“Beli dimana,
harganya?” timpal Ari
Aku tidak tahu
maksud dari “biasalah” dan “Beli dimana dan harganya berapa”.
Ari ini bisa dikatakan satu spesies dengan Dodit, tapi belum sampai
ke tahap master, maklum bapaknya polisi.
“Depan kecamatan, sepuluh ribu juga kembali, kelas Mild sih.”
Selepas maghrib Aku
dan Ari langsung cabut ke toko klontong depan kecamatan
“Sak mana lima ribu, tambah seribu buat beli korek sekalian.”
“Sialan kamu Ri,
beli dua, biar ga repot bagi-baginya.”
“Iya mana
uangnya.”
Seumur-umur baru kali
ini aku membeli rokok, sebelumnya cuma pernah menjilat ujung kapas
rokok yang rasanya manis. Menurutku, rokok adalah simbol kejantanan
dan kekerenan seorang laki-laki di mata cewek, apalagi suasana saat
itu sangat mendukung sekali untuk melakukan operasi pemodusan di
depan cewek-cewek komplek.
“Ri ayo coba dulu
lah.”
“Ntar aja, pas
takbiran, disini ga aman.”
“Ga aman gimana,
lapangan sepi kayak gini.”
“Oke-oke,
itung-itung buat latihan.”
“Iyalah, malu dong
kalo nanti pas showtime kita salah nyumetnya.”
Fiuuuh uhuk..
uhuk... hoek... cuih... Kira-kira
seperti itulah paduan suara kami berdua setelah menyesap seputung
rokok Sampoerna.
“Aseeem, apaan nih.”
“Udah
tahan aja Sak ntar juga terbiasa.”
“Terbiasa
gundulmu.”
0 comments:
Post a Comment