Aku 'tinggal' di
masjid kampung, letaknya persis berseberangan dengan kampus dan hiruk
pikuk kota Jogja. Jika kamu berjalan-jalan melewati jembatan teknik
(jembatan pogung) tengoklah ke bawah, kamu akan menemui sudut lain
dari kota Jogja di sepanjang bantaran Kali Code.
Rumah berderet-deret
tanpa jelas ada pembatasnya, segerombolan anak-anak berlari-larian di
sawah, memancing di sungai, berenang-renang di selokan mataran,
sebuah sungai buatan disebelah Kali Code
“Oi Mas ayo
berenang.”
Masih kuingat dek
Irpan menyapaku, ia merasa senang dan sepertinya tidak menghiraukan
lalu lalang orang di jalan raya yang melihat keasyikan mereka
menyelami selokan itu.
Aku mendekati
mereka, berdiri di jembatan kecil, dan tiba-tiba dari bawah jembatan
itu muncul dek Ari sedang mengapung memberikan senyuman sambil
menyodorkan tangannya.
“Salaman dulu
mas.”
Di pinggir selokan
ada Andi yang tampaknya enggan bergabung dengan teman-temannya, ia
lebih memilih mengobrol denganku.
Aku tidak mau
mengganggu kesenangan mereka. Di jaman sekarang jarang sekali
anak-anak yang masih bisa bermain seperti itu, permainan yang
terlepas dari gadget-gadget canggih.
“Jangan lupa TPA.”
“Iyyaaa.”
Sering aku berpikir
kenapa ketimpangan hidup itu bisa benar-benar terlihat sangat jelas
terasa di sini. Mereka yang tinggal di daerah atas cenderung hidup
dalam kondisi serba berkecukupan, sedangkan mereka yang tnggal di
bawah (sebutan untuk yang tinggal di sepanjang bantaran kali code)
rata-rata tidak seberuntung yang di atas
Masjid tempat aku
tinggal berada di antara daerah atas dan daerah bawah. Anak0anak di
sini aku rasa hidup dalam kondisi yang keras, terbukti beberapa anak
sering menggunakan kata-kata kotor atau makian ketika berbicara
sesamanya. Aku tidak marah dengan sikap mereka itu karena memang
keadaan dan lingkunganlah yang membentuk karakternya, apa yang bisa
kulakukan, aku hanya bisa sekedar mengingatkan sambil bercanda
layaknya kakak bagi mereka
Aku senang sekali
ketika melihat mereka takjub ketika kuajak jalan-jalan ke lapangan
basket teknik atau menikmati sejuknya Masjid Apung Pascasarjana.
Mungkin bagi mereka UGM adalah istana yang tertutup kabut tebal.
Suatu hari nanti kalian pasti bisa menyingkap kabut tebal itu aamiin.
Mari kuperkenalkan
mereka
Yusuf, bandel dan
bagi sebagian yang baru mengenalnya mungkin dianggapnya anak yang
nakal, tapi sebenarnya ia sangat baik. Begitu juga dengan Irpan,
bandel dan nakal, dan mungkin agak terkesan tinggi hati di mata
teman-teman karena memang dia lebih unggul dalam membaca iqro',
saudara dari Irpan ada Amal dan Ahmad, mereka baik sekali denganku,
meskipun tidak sevokal anak yang lain, namun setiap tindakannya
selalu membuatku bisa tersenyum.
Ari dan Dio, mereka
bisa dianggap sebagai yang terunggul dianatar teman-temannya. Ari
terkesan jauh lebih dewasa dalam menghadapi masalah karena ia hidup
dalam keluaraga broken home. Jarang kutemui anak dari keluarga
seperti itu bisa bertahan dan berkembang ke arah yang positif.
Lutfi, Endi, Riski
tiga serangkai yang terajin datang ke TPA. Mereka baik sekali. Endi,
lebih suka mengulang-ulang iqronya dari awal padahal sebenarnya ia
sudah mampu untuk melangkah ke level yang lebih lanjut, namun hal itu
kadang justru bagus baginya. Riski anak dari orang tua pemulung yang
tempat tinggalnya di bantaran Code akan digusur, namun dengan
semangat dan keceriaan yang selalu terpancar di wajahnya ia tetap
melangkahkan kakinya ke masjid. Terakhir adalah Lutfi, anak terajin
di TPA kami, hidup tanpa ayah namun masih bisa tersenyum bahkan
mempunyai tekad kuat untuk belajar.
Masih banyak lagi
anak-anak yang belum aku perkenalkan, yang pasti mereka pernah
menjadi potongan frafmen yang kelak akan aku rindukan.
Dalam sebuah
keterbatasan, dalam kondisi terburuk, dalam keadaan terlemah cobalah
untuk membuka mata,
“Teman-teman yang
mau mengaji di masjid harap segera datang karena sudah ditunggu oleh
teman-temannya.”
Akan ada orang-orang
yang senantiasa menunggumu, entah di suatu tempat dan di suatu masa.
Tersenyumlah hari
ini dan bawalah perubahan untuk hari esok.
Jembatan Teknik |