Kisah ini ditulis salah seorang temanku Eka Pratiwi Taufanty, atas izinnya kutulis ulang di notes facebook sekitar satu tahun yang lalu
**************************************************************
Bayangan sang waktu yang membawa pekat terus mengintai di setiap hari-hariku yang dingin dan beku. Sepi dan sendiri yang mewarnai hari-hariku membuat jiwa ini merasakan setiap belaian penyakit yang bersarang di tubuhku.
Mencekam….itulah yang kurasakan. Aku sadar bahwa sang waktu tidaklah membawa maut untuk kemudian dipersembahkan kepadaku, ia hanya membawa pekat yang kemudian akan menemani di sepanjang usiaku. Sebagai manusia yang belum mengerti bagaimana caranya untuk ikhlas menerima semuanya, aku hanya mampu membiarkan rasa takut berkeliaran tanpa batas dalam hidupku.
Begitu terasa setiap detik yang kulalui. Bagaimana tidak, jiwa dan raga ini dipaksa bersahabat dengan sepi. Bersahabat dengan sepi dan menjalani aktivitas yang monoton. Hhhmmm…bukan aktivitas sepertinya, yang tepat yakni tak ada aktivitas. Yaaa….itulah duniaku setelah berkenalan dengan Glaukoma. Diam dan sesekali berdiskusi dengan jam dinding yang berdetak seirama helaan nafasku,
Itulah rutinitas baruku . Tembok-tembok usang di kamar miniku serta boneka-boneka Barbie bertampang ayu namun memiliki rambut acak-acakkan pun tak luput menjadi sahabatku dalam sepi. Tak jarang aku menyanyi atau sekedar berdiskusi ringan tentang kehidupan dengan mereka. Sangat baik hati para benda mati itu, dengan setia dan penuh perhatian mereka mendengar nyanyian hatiku.
Senyum keikhlasan mendengarkan setiap cerita yang meluncur dari mulutku terpancar jelas dari mereka. Namun air mata justru meleleh di kedua pipiku tatkala mulut ini selesai menguntai kata demi kata untuk mereka. Tentu saja karena sedih melihat mereka yang tak mampu berkomentar dan menghadiahiku untaian kata indah bernada semangat. Jiwa ini kosong nyaris tak mendapat suntikan motivasi untuk melawan penyakit ini atau pun untuk sekedar mendapat keberanian untuk menghadapi sang waktu.
Setidaknya masih ada tangan yang mengulur padaku saat itu. Tangan malaikat yang menjelma pada sosok anak laki-laki yang selama ini telah mengukuhkan dirinya sebagai belahan jiwaku, kalau boleh aku mengibaratkannya seperti itu.
Yaaa…dia selalu ada dan merelakan tubuhnya bergulat dengan rasa lelah karena harus mengantarku kencan dengan dokter setiap hari rabu. Ia rela hidungnya mencium bau obat di apotek. Ia pun rela menempuh jarak jauh melewati hamparan sawah yang menghampar di sepanjang jalan dan membiarkan kulitnya terbakar teriknya sinar matahari yang nakal menggodanya. Itulah beberapa uluran tangannya padaku. Ribuan kebahagian tentu menari-nari di hatiku tatkala mendapati ada sosok yang masih menggapku ada meskipun kenyataan pahit tentang penyakitku tersaji di hadapannya.
Berjuta kebaikan yang ditunjukan si tangan malaikat membuatku yakin bahwa dialah sosok yang akan menemaniku menghadapi sang waktu dan menyibak pekat yang kelak akan menyelimuti. Akhirnya hati ini terpanggil untuk mengulik isi hatinya dan mencari tahu kesungguhannya…
“Kamu tahu kan apa yang akan terjadi sama aku suatu saat nantii?”tanyaku padanya.
“iya, tahu…”jawabnya singkat dan tenang,.
“Aku bakalan buta permanen. Kamu tahu itu kan?”tanyaku lagi, serius.
“Kamu gak bakalan buta, aku yakin…!!!”jawabnya sedikit lebih serius.
“Aku sadar sama keadaanku dan aku gak mau bikin kamu tersiksa karena harus punya cewek kaya aku. Aku tahu kok kamu gak nyaman kan harus selalu nuntun aku tiap kali kita jalan, makanya aku mau kasih kamu kebebasan untuk milih. Kalo kamu mau cari cewe lain yang sehat dan normal, aku rela…”ucapku dengan mata nanar.
“Kamu ngomong apaan sih…aku gak bakal ninggalin kamu apapun yang terjadi. Percaya deh…!!!”ucapnya meyakinkanku.
“Aku bakalan ngelamar kamu suatu saat nanti,”lanjutnya.
“Kalo aku udah lulus kuliah dan kerja, aku bakalan nikahin kamu terus aku bakal bawa kamu berobat ke dokter yang paling hebat. Kamu pasti sembuh…”sekali lagi ia meyakinkanku.
Lega setelah mendengar pernyataannya. Dia seakan mampu meyakkinkanku untuk merenda masa depan bersama meskipun banyak badai yang menghadang. …
Semakin lama semakin terasa kehadiran sang pekat. Kedua mataku semakin lemah menangkap setiap bentuk benda yang ada di sekelilingku. Tatkala petang merajai bumi pertiwi, jiwa ini gelisah. Jiwa ini seakan mencari-cari cahaya, memanggil-manggil sang fajar untuk segera datang menjemputku. Namun bukannya keceriaan yang didapat tatkala sang fajar menyapa dunia, justru malah tekanan yang didapat. Tekanan yang berasal dari rasa jenuh yang menggunung membuatku tak terkendali. Tak jarang aku berteriak dan menangis, kemudian tertawa…semua itu hadir ketika rasa jenuh menggodaku.
Seiring dengan kondisiku yang memburuk, tangan malaikat itu pun tak lagi membelaiku. Tangan itu tak lagi menggenggam erat jiwaku. Sosok itu hilang terbawa angin yang datang bersamaan dengan tekanan di diriku. Tangan itu tak melambai atau pun menjabat tanganku sebelum beranjak dari kehidupanku dan terbang bersama angin. Pergi begitu saja tanpa pamit. Ia meninggalkanku di sini dalam sebuah dimensi ruang hampa yang kosong. Sepertinya jenuh menghampiri jiwanya yang bebas. Atau mungkin ia mulai menyadari kenyataan yang menimpaku yang ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Kehampaan sepertinya mulai ia rasakan. Kehampaan karena tak ada kekasih yang menemaninya menikmati dunia. Aku sadar betul bahwa tak semudah itu menerima kekurangan orang lain. Mungkin mudah jika hanya menerima kekurangan orang lain tapi tak mudah jika yang harus kita beri toleransi itu adalah pacar sendiri. Menerima dengan lapang dada dan berani mengatakan, “wanita yang tak bisa melihat itu adalah kekasihku” tak semudah itu ditunaikan oleh setiap manusia, termasuk olehnya.
Sosok itu terus bersembunyi di balik alasan-alasan yang ia ciptakan. Sebenarnya aku sudah bisa menebak bahwa sikapnya yang tiba-tiba menghindar adalah cerminan dari ketidaksanggupan dia untuk tetap berada di sampingku. Namun aku tak begitu saja mengiyakan sikapnya itu, aku terus memborbardirnya dengan pertanyaan serta sikap yang menunjukkan bahwa aku butuh keberanian dia untuk menjelaskan tentang kepergiannya dari hidupku. Dan demi mendapatkan semua jawaban itu, kulangkahkan kedua kakiku untuk menemuinya. Berdesakan di angkutan umum dengan penglihatan terbatas serta jarak yang membentang tak menyurutkanku . Dan setelah sampai ternyata tidak semudah itu menemuinya. Dia tak mau menemuiku. Sikapnya benaar-benar berbeda dengan beberapa waktu lalu .
Namun setelah didesak ia pun mau menemuiku namun dengan syarat yang ia ajukan. Ia membatasi waktu pertemuan kami.
Dingin….itulah sikap yang ia tunjukkan padaku. Untuk sekedar menanyakan kondisiku pun ia tak melakukannya. Karena tak merasa nyaman dengan sikap dinginnya itu, aku pun langsung meminta jawaban atas sikapnya itu. Dan seperti tersambar petir saat tahu apa yang ia katakan. Tubuhku lunglai, jantungku seakan berhenti berdetak, darahku pun seakan berhenti mengalir. Ia mengatakan hal yang diluar dugaanku. Sama sekali tak terpikir dia akan mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu.
Kurang lebih seperti ini percakapanku dengannya….
“Kamu kenapa sih ngehindar terus dari aku? Kamu susah dihubungi….”ucapku namun ia hanya diam.
“Kamu punya cewe lain?”tanyaku.
“Gak…!!!”jawabnya tegas, dan aku percaya. Aku tahu bagaimana dia, dia tak semudah itu melabuhkan hatinya kepada orang lain.
“Terus kenapa?!? Kamu udah capek ya punya cewe kaya aku? Kamu malu ya punya cewe gak bisa lihat kaya aku?”tanyaku lagi, namun ia kembali diam. Ada sebuah kebimbangan di wajahnya.
“Gak usah takut, aku gak bakal marah kok kalo emang kamu udah capek and malu pacaran sama aku. Ngomong aja….gak apa-apa kok. Serius deh aku gak bakalan marah..!!!”lanjutku dengan senyum diakhir kalimatku. Aku memang sedang berusaha menyembunyikan kesedihanku karena aku tahu dia tidak akan mengatakan alasannya jika tahu aku sedang sedih.
“Kok diem sih??!!?? Ngomong donk…!!! Kamu benci sama aku? Kamu mau putus?”ucapku dengan senyum yang selalu menghias wajahku. Aku sengaja menawarkan beberapa option agar ia lebih mudah mengungkapkan alasannya.
“Aku gak pernah benci sama kamu, aku Cuma benci sama penyakit kamu,”jawabnya dengan pandangan tak mengarah padaku.
“Aku gak siap kalo harus punya pasangan yang gak bisa lihat. Kalo kita menikah nanti gimana sama anak kita, siapa yang mau ngurus anak kita?!?”lanjutnya. Disitulah aku merasa langit runtuh menimpaku. Air mataku siap meluncur tapi sekuat tenaga aku tahan.
“Ooohhh…jadi bener ya kamu pengen putus. Gitu donk ngomong yang sejujur-jujurnya. Kebukti kan aku gak marah,”ucapku sambil tetap melempar senyum, menutupi remuknya hati ini.
“Tadi kamu bilang kalo kamu gak benci sama aku melainkan bencinya sama penyakitku. Terus kenapa kamu malah ninggalin aku and bukannya bantuin aku ngelawan penyakitku??!!? Gimana sih si abang ini, hehee…”ucapku sambil melempar canda dan tetap menguatkan tubuh ini agar tidak ambruk.
“Aku harus bantu apa lagi, selama ini aku udah banyak bantu kamu. Selama ini aku selalu nemenin kamu ke dokter, nganter kamu beli obat, Menuhin semua yang kamu butuhin…terus aku harus gimana lagi hah?!?”jawa bnya sekaligus menutup pembicaraan antara kami.
Ternyata tangan malaikat itu palsu….ternyata selama ini menghitung setiap kebaikan yang ia berikan padaku. Dan ketika dirasanya aku tak mampu membayar, ia berpaking dariku. Tak bisa menyalahakan dia atas semua ini. Sudah menjadi haknya untuk menentukan pilihan. Dia meninggalkanku hanya karena penyakit ini, memang tak adil untukku. Namun jika aku menahannya untuk tetap berada di sisiku, justru itu tak adil untuknya. Bagaimana pun juga dia bebas memilih dengan siapa ia akan melewati hari-hari. Sekali lagi aku katakana, tak mudah menuntun seorang kekasih di setiap kencan, tak mudah untuk selalu mengambilkan botol saus dan menumpahkannya dimangkuk bakso kekasih kita. Ternyata dia bukanlah sosok yang akan menjadi tongkatku.
Tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan….kalimat itu memang benar. Cintanya dan kesetiaannya yang semula kuprediksi akan tetap ada sepanjang usiaku ternyata menguap begitu saja. Pun janjinya untuk tetap bersamaku apapun yang terjadi ternyata mengalir bersama air mata yang ada. Semua angan dan asa terbang entah kemana. Hidupku semakin perih menerima kenyataan baru yang tak kalah menyakitkan dari kenyataan sebelumnya.